Kamis, 15 November 2012

Peristiwa 10 November


 



Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme

Kronologi penyebab peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

[sunting] Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya


Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

sejarah Abdul Muis

Abdul Muis (also spelt Abdoel Moeis) [1] (Birth date unknown–17 June 1959), was an Indonesian writer, journalist and nationalist. He argued tirelessly for Indonesia's independence from the Netherlands.
Born in Sungai Puar in West Sumatra in either 1883, 1886, or 1890, to a leading member of the Minangkabau and his Javanese wife,[2] Muis received a western education and studied medicine[2] in Jakarta for three years before being forced to pull out due to ill health.[3] Muis first found employment in the civil service, before switching to journalism and becoming involved in nationalist publications such as Kaoem Moeda, a paper he co-founded in 1912.[1] He became known for his inflammatory articles, which were highly critical of Dutch involvement in Indonesia. For example, essays published in De Express, a Dutch language newspaper, were highly critical of Dutch attitudes towards Indonesians.[1] During the First World War he was active in the movement for greater automony for the Indies, and was a member of a delegation of the Comite Indie Weerbaar (Committee for the Defence of the Indies).[2]
Around the same time he joined the Sarekat Islam (Islamic Union).[2] He became an active member of the organization, and was rapidly promoted through the ranks, becoming its representative to the Netherlands in negotiations aimed at obtaining direct representation for Indonesia in the Dutch parliamentary system.[1] In 1920 he was appointed a member of the Volksraad (Peoples Council),[2] which later developed into a semi-legislative assembly.[4] Among the members of this body were prominent nationalist leaders like Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, H.O.S. Tjokroaminoto, Dr. Sam Ratulangi, M.H. Thamrin, Wiwoho, Sutardjo Kartohadikusumo, Dr. Radjiman, and Soekardjo Wiryopranoto.[4]
Muis ran into trouble with the Dutch administration a number of times. He was arrested in 1919 following the murder of a Dutch Controleur in North Sulawesi just after Muis had completed a speaking tour there.[1] Not long after, in 1922, he led a protest strike in Yogyakarta, and was consequently arrested and confined to the city of Garut, in West Java for a period of three years.[1]
From the late 1920s Muis shifted his focus from politics to creative writing and in 1927 he initiated correspondence with the state-owned publishing house Balai Pustaka.[1] In his first novel, Salah Asuhan (Wrong Upbringing), published in 1928, Muis depicted the problem of racial and social discrimination in the tragic story of Hanafi and Corrie.[5] The Western-oriented Hanafi and the feisty, liberated Corrie represent the conflict pre-independent Indonesia faced in choosing either to adhere to traditional values, or to adopt Western notions of modernity.[5] The novel has been described as one of the most famous of his works as well as among the most popular works of modern Indonesian fiction.[6] The novel was one of several Indonesian classics to be included in the Indonesian Cultural Heritage Series published by Balai Pustaka in 2009.[7] and, in 2010, an English translation (Never the Twain) was also published by the Lontar Foundation as part of the Foundation's Modern Indonesia Series. Muis also published three other major novels, among them Pertemuan Jodoh (The Destined Marriage Partners), published in 1937, and four novels in Indonesian translation.[1]
He spent the latter part of his life in Bandung, and was involved in the establishment of the Bandung Institute of Technology.[1] After Independence he founded Persatuan Perjuangan Priangan, the focus of which was the development of West Java and the Sundanese.
Muis died in Bandung in 1959, and is today seen as an important freedom fighter in Indonesia's history. In many cities he has a street or "Jalan" (road) named after him. In 1959, in recognition of his dedication to the nationalist cause he was named a national hero by President Sukarno.[1]

Minggu, 11 November 2012

sejarah pertempuran medan area




Tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Mohammad Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pendaratan Sekutu di kota Medan terjadi pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu (Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda. Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Padang, Bukit Tinggi dan Aceh.

AGRESI MILITER BELANDA 1





 id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_I
Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

sejarah general Sudirman


Major General TNI Posthumous Sudirman (Spelling Soewandi: Sudirman) (born in Bodas Karangjati, Purbalingga, Central Java, January 24, 1916 - died in Magelang, Central Java, January 29, 1950 at the age of 34 years) is a hero Indonesian national who fought during the Indonesian National Revolution. In the history of the struggle of the Republic of Indonesia, he is recorded as a commander and General of Indonesia in the first and youngest. At the age of 31 years Soedirman it has become a general. Despite suffering from tuberculosis of the lungs severe, he remained in the guerrilla war of independence of Indonesia defense. In 1950 he died of tuberculosis and was buried in the Heroes Cemetery in semaki State Kusuma, Yogyakarta.Sudirman was born to KARSID Kartawiraji and Siyem when they stay with Tarsem, brother Siyem one in three women who marry Cokrosunaryo Raden, a gull in Apex, Bodas Karangjati, Purbalingga, the Dutch East IndiesWhen the time of the Japanese occupation, he entered the army Defenders of the Homeland (MAP) in Bogor under training Japanese soldiers. [3] After completing his education at the MAP, he became a battalion commander in Kroya, Central Java. Later he became the commander of Division V / Banyumas after TKR formed, and eventually was elected Commander of the Armed Forces of the Republic of Indonesia (Commander TKR).

Soedirman known by those around him with his private firm on principles and beliefs, which he always puts the interests of the community at large and the nation above personal interests, and even their own health. His personality is written in a book by Tjokropranolo, bodyguard during the guerrilla, as someone who is always consistent and consistent in defending the interests of the homeland, the nation and the state.

During the Japanese occupation, the Sudirman been a member of the People's Food Board and a member of the House of Representatives residency of Banyumas. In this time he set up a cooperative to help the people from starvation 

Allied victory over Japan in World War II brought the Dutch troops to come back to the islands of the Dutch East Indies (now the Republic of Indonesia), former colonies which had declared independence. After the surrender of Japanese troops, the Allies came to Indonesia with a reason to disarm the Japanese troops. Apparently allied troops came along with NICA troops from the Netherlands who want to take back Indonesia as a colony. Knowing this, TKR was engaged in many battles with the Allied Forces.

The first great war is a war led Soedirman Palagan Ambarawa against the British and Dutch NICA which lasts from November to December 1945.  In December 1945, forces led by Sudirman TKR fought against the British army in Ambarawa. And on December 12, 1945, Sudirman launched simultaneous attacks on British positions in Ambarawa all. Famous battle which lasted for five days to end with the withdrawal of British troops to Semarang. The war ended on December 16, 1945.

After victories in the Sudirman Ambarawa Theater, on December 18, 1945 he was appointed as General by President Soekarno. Soedirman gained the rank of General is not through the military academy or other higher education, but because of his achievements.
When the Dutch Military Aggression II, moved the capital of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, because Jakarta has been occupied by the Dutch army. Soedirman led his troops to defend Yogyakarta from the Dutch attack II is dated December 19, 1948. The insurgency, Sudirman was in a very weak because of tuberculosis he suffered for a long time. Even so he go jump into battle with his troops in a state of being carried, led his soldiers to remain in the fight against Dutch troops in guerrilla.

Sudirman illness while in Yogyakarta getting worse. Her lungs were functioning only stayed one because of illness. Yogyakarta was then controlled by the Dutch, although Indonesia was ruled by the army after General Offensive March 1, 1949. At that time, President Soekarno and Mohammad Hatta and several cabinet members were also arrested by the Dutch army. Because of the precarious situation, Soedirman crutches left with his troops and return to guerrilla warfare. He moved around for seven months from one forest to another forest, and from mountain to mountain sick and weak and in a state of virtually no treatment and medical care. Although still want to lead the resistance, eventually Soedirman home of the guerrilla campaign for a health condition does not allow her to lead the Armed Forces directly. After that just a figure Soedirman planners behind the scenes in a guerrilla campaign against the Dutch.

After the Dutch surrender as the Indonesian archipelago States in the 1949 Round Table Conference in The Hague, General Sudirman back to Jakarta with President Sukarno and Vice President Mohammad Hatta
On January 29, 1950, General Sudirman died in Magelang, Central Java because of pain he suffered severe tuberculosis. He was buried in the Heroes Cemetery in semaki State Kusuma, Yogyakarta. He was named the Defender of Independence hero. In 1997 he was awarded posthumously to Major General of the five-star rank of which only three generals in Indonesia until now, Haji Muhammad Suharto, Abdul Haris Nasution and himself.

Sabtu, 10 November 2012

sejarah Pertempuran 5 Hari 5 Malam Di Semarang


 

Pertempuran 5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, (Sekarang menjadi kawasan industri Candi Semarang) waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang Rumah Sakit Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlibat adalah sbb :
  1. dr. Kariadi
    dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Ia juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
  2. Mr. Wongsonegoro
    Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
  3. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta
    Tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro.
  4. Mayor Kido (Pemimpin Kidobutai)
    Pimpinan Batalion Kidobutai yang berpusat di Jatingaleh.
  5. drg. Soenarti
    Istri dr. kariadi
  6. Kasman Singodimejo
    Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
  7. Jenderal Nakamura Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, 



  1. dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.

R,E MARTADINATA



Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan perhatian dalam penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. Januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut.
Penugasan berikutnya adalah mendirikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung - Tegal dan dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan - Magetan tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Special Operation (SO). Martadinata diberi tugas oleh KSAL Soebyakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin SO karena menurut KSAL Soebyakto, S.O merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut, Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menembus Blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendidikan S.O mengambil tempat di Telaga Sarangan, Lereng Gunung Lawu, Jawa Timur.
Ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II, Ia ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh (ALDA) yang bertugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni melaksanakan pendidikan dan mengkoordinasi kegiatan "Armada Penyelundup" senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan. Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa dan diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya tahun 1950. Saat itu sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal Perang HrMS Morotai yang kemudian diubah namanya menjadi RI Hang Tuah dan R.E. Martadinata diangkat menjadi Komandannya. RI Hang Tuah merupakan Kapal Perang terbesar saat itu, digunakan untuk operasi-operasi militer menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.
Martadinata kemudian berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS pada tahun 1953. Selesai mengikuti pendidikan di AS, ia mendapat tugas khusus selama tiga tahun sepanjang tahun 1957-1959 di Italia untuk mengawasi pembuatan 2 kapal korvet (Almirante Clemente Class) yang dipesan RI yaitu RI Soerapati dan RI Imam Bondjol. Pada kurun waktu tersebut Martadinata juga sekaligus bertugas mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Yugoslavia. Sekembalinya dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan Jakarta dan Surabaya.
Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin oleh Laksmana Madya Soebyakto, beberapa perwira yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor KKO. Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak menyetujui permohonan tersebut namun setelah melihat bahwa Gerakan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staff ALRI maka Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya Soebiyakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksmana Madya Soebiyakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata - yang pada saat itu masih memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia - sebagai penggantinya karena dianggap netral. Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Ketika menjabat KSAL yang kemudian dirubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya TRIKORA, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 Cruiser (Sverdlov Class), 8 Destroyer (Skory Class), 8 Frigate (Riga Class), 12 Submarine (Wishkey Class) dan kapal kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat udara IL-28 (torpedo bomber) serta Helikopter MI-4.
Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dimana termasuk diantaranya J.E. Habibie (Mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (Mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut
Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G.30.S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Soekarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan.
Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke Indonesia mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputy I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan yang ternyata helikopter yang dikemudikannya menabrak bukit dan dalam kecelakaan tersebut seluruh penumpang dan pilot termasuk Laksamana Laut R.E.Martadinata tewas. Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.
Lahir di Bandung, 29 Maret 1921. Pendidikan HIS di Lahat 1934, MULO di Bandung 1938, AMS di Jakarta 1941 dan Sekolah Pelayaran Tinggi.
Ia tidak sempat menyelesaikan Sekolah Tehnik Pelayaran karena pendudukan Jepang. Selanjutnya ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang. Selama mengikuti pendidikan, ia tampak menonjol sehingga diangkat menjadi Guru Bantu. Tahun 1944, ia diangkat sebagai Nahkoda Kapal Pelatih.
Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jl Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinir oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro dll membentuk BKR Laut Pusat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laut, diubah lagi menjadi TRI Laut dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.
meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun) atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung[1] dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta